kantong mama |
Misalnya aja
kunci kendaraan. Akibatnya, sering lupa dan bingung mencari kemana kunci itu
berada. Butuh waktu lama untuk mencarinya. Kadang aku jadi ikut menjadi
sukarelawan dan sebal sendiri ketika membantunya.
Nggak cuman itu,
ada satu lagi yang pada awalnya aku anggap sebagai kecerobohan mama. Ya,
kebiasaan buruk tadi itu.
Ini nih, mamaku paling
suka menaruh uang sembarangan. Mama mengaku melakukan itu karena nggak punya
dompet. Mungkin nggak sih, orangtua nggak punya dompet? Tapi yang paling sering kulihat, mamaku suka
menaruh uang dalam selipan buku catatannya, memasukkan begitu saja uangnya di
kantong kecil yang ada di tasnya. Mamaku juga punya kantong khusus yang selalu
dibawa ketika bepergian. Atau uangnya di taruh di saku celana jean-nya.
Bahkan kalau kuperhatikan lagi, kebiasaan ini sudah berlangsung lama sekali.uang kembalian belanja di warung sering di taruh di atas kulkas. Atau di taruh di meja kamar yang siapapun sebenarnya bisa dengan mudah masuk dan mengambilnya.
Bahkan kalau kuperhatikan lagi, kebiasaan ini sudah berlangsung lama sekali.uang kembalian belanja di warung sering di taruh di atas kulkas. Atau di taruh di meja kamar yang siapapun sebenarnya bisa dengan mudah masuk dan mengambilnya.
Kenapa? Karena kamar
mama selalu terbuka, bahkan nggak pernah dikunci. Jadi aku dan sepupu kecilku
bisa dengan bebas keluar masuk. Atau siapapun bisa dengan mudah nyelonong untuk
mengambil barang berharga yang ada di kamar.
Uang berlembar-lembar
uang lima puluh ribuan hingga yang receh 500 perak atau 100 perak pun udah
biasa tergeletak begitu saja di sebelah laptop ketika aku asyik bermain game on
line dimeja kerja mama.
Tapi selama itu,
mamaku nggak pernah sekalipun mengeluhkan uangnya yang tergeletak itu berkurang
sedikitpun. Nggak ada yang menyentuh uang mama kecuali pemiliknya. Ya mama
sendiri. Dan nggak pernah ribut seperti ketika mencari kunci kendaraan.
Ya, rumah kami
sangat aman. Nggak ada yang berani mengambil uang mama. Termasuk aku yang
setiap hari ke kamar mama dan melihat benda berharga itu tergeletak di sana. Aku
nggak punya keinginan untuk mengambilnya. Karena apa? Aku nggak punya kebiasaan
memegang uang sendiri.
Sejak aku masih kecil, mama biasa menyediakan makanan kecil di
rumah. Apapun makanan bahkan sampai es krim pun di sediakan di kulkas atau
almari di dekat meja makan. Aku tinggal mengambil apa yang aku inginkan.
Ya, kebiasaan ini yang akhirnya membuat ku nggak pernah jajan. Aku
ingat sering diajak mbah pergi ke warung
kelontong dekat rumah. Ketika ditawari makanan, permen, bahkan es. Kepalaku
selalu menggeleng.
“Nggak. Mama udah beliin.” Atau “Nggak, di rumah udah ada makanan.”
Kebiasaan itu kubawa hingga sekolah. Bahkan sampai duduk di bangku
Sekolah Dasar.
Karena itu juga aku nggak mengenal uang seperti teman-teman
sebayaku. Aku juga tidak biasa ke warung sendirian membeli jajanan. Aku nggak
suka pegang uang. Bahkan aku pernah memasukkan uang mamaku di tempat sampah
karena aku nggak mengenal nilai uang yang kubuang waktu itu, hihii.
Sampai kemudian setiap kali mama atau mbah meminta tolong belanja
ke warung dekat rumah, aku selalu menolak. Kebiasaanku ini sampai aku duduk di
kelas 3 SD.
Apalagi di sekolahku juga ada aturan yang ketat. Nggak boleh bawa
uang saku kecuali koin untuk menelepon meminta di jemput.
Aku lebih suka meminta Mas Wahyu, satpam di sekolahku untuk mengirim
pesan kepada mama dari handphone-nya.
Oh ya, di sekolah,
aku nggak pernah membawa uang saku karena peraturan di sekolah memberlakukan hukuman bagi murid yang bawa uang saku. Misalnya nih
aku bawa uang saku Rp 5 ribu. Nanti kalau ketahuan bakalan didenda dua kali
lipat dari uang yang kubawa. Jadi aku membayar ke sekolah sebesar Rp 10 ribu.Makanya,
aku sangat hati-hati. Pokoknya nggak bawa uang ke sekolah.
Aku cukup membawa bekal makanan kecil.
Sekolah juga menyediakan katering untuk makan siang. Semua kebutuhan makanku
dijamin mama dan sekolah.
Penjual jajanan
sekolah atau mainan juga nggak ada, kecuali di hari tertentu ada pedagang buku
yang menjajakan buku pengetahuan secara resmi. Sehari sebelumnya kami diberi
surat edaran untuk membawa uang nggak lebih dari 20 ribu jika tertarik
membelinya.
**
Suatu ketika ada
pedagang bubur mutiara di depan masjid yang ada di depan sekolahku. Jam pelajaran
udah selesai. Aku masih menunggu mama yang lama tidak datang menjemputku di
sekolah.
“Ma aku pengin
bubur mutiara,” pintaku ketika mama muncul di depanku.
“Ya udah beli
aja.” Mama merogoh saku untuk mengambil uang dan mengulurkan uang lima ribuan.
Setelah membeli
bubur seharga seribu, uang kembalian kuberikan pada mama.
“Oh ya, ini uang
kembalian beli buku tadi, Ma. Kembali dua ribu rupiah.”
“Nah lho, kalau
kamu pegang uang kenapa dari tadi nggak beli bubur pakai uang ini aja. Daripada
menunggu mama. Kan lama,” mamaku nyerocos seperti biasa mengomentariku
“Kata uztad uang
kembalian dua ribu ini harus dikembalikan ke mama karena ini uang mama.” Sambil
mengulurkan uang kembalian beli buku itu.
***
Dari situ aku
jadi tahu dan paham. Nggak hanya mamaku yang mengajarkan kejujuran padaku. Tapi
juga guru-guru di sekolah.
Mereka menanamkan
kejujuran. Kejujuran untuk tidak mengambil milik orang lain. Tidak mengambil
sesuatu yang bukan hakku. Itu bekal yang sangat penting ketika dewasa nanti.
Aku jadi ingat
waktu aku menyaksikan berita tentang korupsi di televisi. Ada pejabat-pejabat yang
katanya melakukan korupsi terus ditangkap KPK. Karena penasaran aku bertanya
pada mama, apa itu korupsi dan koruptor. Terus apa sebenarnya tugas KPK.
Mama bilang kalau
korupsi itu berarti mengambil sesuatu yang bukan miliknya atau haknya untuk
kepentingan dan keuntungannya pribadi atau kelompoknya. Sedangkan koruptor itu orangnya
atau pelakunya.
Nah, kalau KPK
itu singkatan dari Komisi Pemberantas Korupsi, yang tugasnya menangani dan
memberantas kasus korupsi yang dilakukan para pejabat yang ada di Negara kita. Iih,
padahal mereka itu pejabat. Udah punya uang banyak, kenapa masih korupsi ya? Apakah
itu artinya mereka nggak jujur.
Nggak pernah
belajar jujur seperti yang diajarkan mama dan guruku di sekolah. Jujur pada
diri sendiri dan jujur pada orang lain.
Wah, kalau begitu
orang-orang yang bekerja di KPK itu luar biasa. Mulia sekali tugas yang
diemban.
Seandainya aku
jadi Ketua KPK, aku akan datangi sekolah-sekolah dan orangtua murid untuk
menanamkan kejujuran seperti yang diajarkan padaku. Dengan cara sederhana dan
mudah pun anak-anak bisa mengerti dan memahami makna kejujuran yang sebenarnya.
Memang ini tugas
berat di pundak ketua KPK. Untuk mencari dan membuktikan orang-orang yang
melakukan korupsi itu nggak mudah. Tapi tidak ada kata ‘’tidak mungkin’’ . Dengan
menanamkan kejujuran dan pendidikan karakter sejak dini, pasti akan
menghasilkan perubahan yang lebih baik. Generasi muda yang jujur.
Coba saja semua
orang Indonesia seperti itu. Pasti negara kita akan terbebas dari korupsi. Dan tugas
ketua KPK dan semua orang akan lebih ringan.
***
KPK ini juga
mengingatkanku pada gelang merah (wirstbands) yang dipakai di tangan kiri mamaku.
Katanya itu bukan gelang sembarangan sehingga mama dengan suka hati memakainya.
Ya, gelang merah bertuliskan
“I Love Integrity” itu adalah gelang pemberian KPK sewaktu mama ikut lokakarya
KPK di Yogyakarta.
“Sebagai
pengingat kalau kita harus punya intergritas,” begitu katanya.
Dan kupandangi
juga almari berwarna coklat di kamarku. Belum lama ini aku menuliskan satu kalimat
di daun pintu almari dengan menggunakan spidol warna hitam.
Terbaca dengan
jelas, “Mencuri berarti akan masuk neraka jahanam.”
Hiii…seram!!
gelang mama |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar