Minggu, 18 November 2012

Jujur itu Bisa Memberantas Korupsi

kantong mama
Aku perhatikan, mamaku mempunyai banyak kebiasaan buruk. Salah satunya yang paling menyebalkan adalah menaruh barang atau sesuatu seenaknya sendiri. Maksudnya, tinggal taruh aja tanpa memperhatikan barang itu penting atau tidak. 


Misalnya aja kunci kendaraan. Akibatnya, sering lupa dan bingung mencari kemana kunci itu berada. Butuh waktu lama untuk mencarinya. Kadang aku jadi ikut menjadi sukarelawan dan sebal sendiri ketika membantunya.

Nggak cuman itu, ada satu lagi yang pada awalnya aku anggap sebagai kecerobohan mama. Ya, kebiasaan buruk tadi itu.
Ini nih, mamaku paling suka menaruh uang sembarangan. Mama mengaku melakukan itu karena nggak punya dompet. Mungkin nggak sih, orangtua nggak punya dompet?  Tapi yang paling sering kulihat, mamaku suka menaruh uang dalam selipan buku catatannya, memasukkan begitu saja uangnya di kantong kecil yang ada di tasnya. Mamaku juga punya kantong khusus yang selalu dibawa ketika bepergian. Atau uangnya di taruh di saku celana jean-nya.

Bahkan kalau kuperhatikan lagi, kebiasaan ini sudah berlangsung lama sekali.uang kembalian belanja di warung sering di taruh di atas kulkas. Atau di taruh di meja kamar yang siapapun sebenarnya bisa dengan mudah masuk dan mengambilnya. 

Kenapa? Karena kamar mama selalu terbuka, bahkan nggak pernah dikunci. Jadi aku dan sepupu kecilku bisa dengan bebas keluar masuk. Atau siapapun bisa dengan mudah nyelonong untuk mengambil barang berharga yang ada di kamar.

Uang berlembar-lembar uang lima puluh ribuan hingga yang receh 500 perak atau 100 perak pun udah biasa tergeletak begitu saja di sebelah laptop ketika aku asyik bermain game on line dimeja kerja mama.
Tapi selama itu, mamaku nggak pernah sekalipun mengeluhkan uangnya yang tergeletak itu berkurang sedikitpun. Nggak ada yang menyentuh uang mama kecuali pemiliknya. Ya mama sendiri. Dan nggak pernah ribut seperti ketika mencari kunci kendaraan.

Ya, rumah kami sangat aman. Nggak ada yang berani mengambil uang mama. Termasuk aku yang setiap hari ke kamar mama dan melihat benda berharga itu tergeletak di sana. Aku nggak punya keinginan untuk mengambilnya. Karena apa? Aku nggak punya kebiasaan memegang uang sendiri. 

Sejak aku masih kecil, mama biasa menyediakan makanan kecil di rumah. Apapun makanan bahkan sampai es krim pun di sediakan di kulkas atau almari di dekat meja makan. Aku tinggal mengambil apa yang aku inginkan.

Ya, kebiasaan ini yang akhirnya membuat ku nggak pernah jajan. Aku ingat  sering diajak mbah pergi ke warung kelontong dekat rumah. Ketika ditawari makanan, permen, bahkan es. Kepalaku selalu menggeleng.

“Nggak. Mama udah beliin.” Atau “Nggak, di rumah udah ada makanan.”

Kebiasaan itu kubawa hingga sekolah. Bahkan sampai duduk di bangku Sekolah Dasar.
Karena itu juga aku nggak mengenal uang seperti teman-teman sebayaku. Aku juga tidak biasa ke warung sendirian membeli jajanan. Aku nggak suka pegang uang. Bahkan aku pernah memasukkan uang mamaku di tempat sampah karena aku nggak mengenal nilai uang yang kubuang waktu itu, hihii.

Sampai kemudian setiap kali mama atau mbah meminta tolong belanja ke warung dekat rumah, aku selalu menolak. Kebiasaanku ini sampai aku duduk di kelas 3 SD.
Apalagi di sekolahku juga ada aturan yang ketat. Nggak boleh bawa uang saku kecuali koin untuk menelepon meminta di jemput. 

Aku lebih suka meminta Mas Wahyu, satpam di sekolahku untuk mengirim pesan kepada mama dari handphone-nya. 

Oh ya, di sekolah, aku nggak pernah membawa uang saku karena peraturan di sekolah memberlakukan hukuman bagi murid yang bawa uang saku. Misalnya nih aku bawa uang saku Rp 5 ribu. Nanti kalau ketahuan bakalan didenda dua kali lipat dari uang yang kubawa. Jadi aku membayar ke sekolah sebesar Rp 10 ribu.Makanya, aku sangat hati-hati. Pokoknya nggak bawa uang ke sekolah.

Aku cukup membawa bekal makanan kecil. Sekolah juga menyediakan katering untuk makan siang. Semua kebutuhan makanku dijamin mama dan sekolah.
Penjual jajanan sekolah atau mainan juga nggak ada, kecuali di hari tertentu ada pedagang buku yang menjajakan buku pengetahuan secara resmi. Sehari sebelumnya kami diberi surat edaran untuk membawa uang nggak lebih dari 20 ribu jika tertarik membelinya.

**
Suatu ketika ada pedagang bubur mutiara di depan masjid yang ada di depan sekolahku. Jam pelajaran udah selesai. Aku masih menunggu mama yang lama tidak datang menjemputku di sekolah.
“Ma aku pengin bubur mutiara,” pintaku ketika mama muncul di depanku.
“Ya udah beli aja.” Mama merogoh saku untuk mengambil uang dan mengulurkan uang lima ribuan.
Setelah membeli bubur seharga seribu, uang kembalian kuberikan pada mama.
“Oh ya, ini uang kembalian beli buku tadi, Ma. Kembali  dua ribu rupiah.”
“Nah lho, kalau kamu pegang uang kenapa dari tadi nggak beli bubur pakai uang ini aja. Daripada menunggu mama. Kan lama,” mamaku nyerocos seperti biasa mengomentariku
“Kata uztad uang kembalian dua ribu ini harus dikembalikan ke mama karena ini uang mama.” Sambil mengulurkan uang kembalian beli buku itu. 

***
Dari situ aku jadi tahu dan paham. Nggak hanya mamaku yang mengajarkan kejujuran padaku. Tapi juga guru-guru di sekolah.
Mereka menanamkan kejujuran. Kejujuran untuk tidak mengambil milik orang lain. Tidak mengambil sesuatu yang bukan hakku. Itu bekal yang sangat penting ketika dewasa nanti.

Aku jadi ingat waktu aku menyaksikan berita tentang korupsi di televisi. Ada pejabat-pejabat yang katanya melakukan korupsi terus ditangkap KPK. Karena penasaran aku bertanya pada mama, apa itu korupsi dan koruptor. Terus apa sebenarnya tugas KPK. 

Mama bilang kalau korupsi itu berarti mengambil sesuatu yang bukan miliknya atau haknya untuk kepentingan dan keuntungannya pribadi atau kelompoknya. Sedangkan koruptor itu orangnya atau pelakunya. 

Nah, kalau KPK itu singkatan dari Komisi Pemberantas Korupsi, yang tugasnya menangani dan memberantas kasus korupsi yang dilakukan para pejabat yang ada di Negara kita. Iih, padahal mereka itu pejabat. Udah punya uang banyak, kenapa masih korupsi ya? Apakah itu artinya mereka nggak jujur.
Nggak pernah belajar jujur seperti yang diajarkan mama dan guruku di sekolah. Jujur pada diri sendiri dan jujur pada orang lain.

Wah, kalau begitu orang-orang yang bekerja di KPK itu luar biasa. Mulia sekali tugas yang diemban.
Seandainya aku jadi Ketua KPK, aku akan datangi sekolah-sekolah dan orangtua murid untuk menanamkan kejujuran seperti yang diajarkan padaku. Dengan cara sederhana dan mudah pun anak-anak bisa mengerti dan memahami makna kejujuran yang sebenarnya.

Memang ini tugas berat di pundak ketua KPK. Untuk mencari dan membuktikan orang-orang yang melakukan korupsi itu nggak mudah. Tapi tidak ada kata ‘’tidak mungkin’’ . Dengan menanamkan kejujuran dan pendidikan karakter sejak dini, pasti akan menghasilkan perubahan yang lebih baik. Generasi muda yang jujur.
Coba saja semua orang Indonesia seperti itu. Pasti negara kita akan terbebas dari korupsi. Dan tugas ketua KPK dan semua orang akan lebih ringan. 

***
KPK ini juga mengingatkanku pada gelang merah (wirstbands) yang dipakai di tangan kiri mamaku. Katanya itu bukan gelang sembarangan sehingga mama dengan suka hati memakainya. 

Ya, gelang merah bertuliskan “I Love Integrity” itu adalah gelang pemberian KPK sewaktu mama ikut lokakarya KPK di Yogyakarta.
“Sebagai pengingat kalau kita harus punya intergritas,” begitu katanya. 

Dan kupandangi juga almari berwarna coklat di kamarku. Belum lama ini aku menuliskan satu kalimat di daun pintu almari dengan menggunakan spidol warna hitam. 

Terbaca dengan jelas, “Mencuri berarti akan masuk neraka jahanam.”

Hiii…seram!!

gelang mama


Tidak ada komentar: